![]() |
By Google |
Aku rasa ingin menangis melihat
postingan yang tulis ‘Tere Liye’ tadi malam.
Melihat buku Agenda yang ada
disebelah kananku dengan berkaca. Menatap tulisan ‘Salam Literasi’ yang selalu aku selipkan
di halaman pertama. Mengubur rasa sakit, kecewa dan marah terhadap seluruh
institusi yang bertanggung jawab.
Aku tahu, percuma memang
berteriak dimana-mana bahwa kami butuh keadilan. Karena keadilan bisa dibeli
dengan mudah dengan uang. Seperti itulah kita, terlalu mendewakan uang. Benda
mati yang dapat membeli segalanya termasuk nyawa seseorang. *jangan salah, jika
kalian suka membaca atau menonton film action kalian tahu maksud diriku*
Aku tahu percuma memang menulis
ini di blog pribadi yang aku punya. Tapi tahu-kan kalian, aku salah satu orang
yang teramat dengan sangat mencintai buku dari kecil. Mengagungkan ilmu
setinggi yang aku bisa, lebih memilih membeli buku dari pada harus jajan di kantin
sekolah dan aku tak akan pernah berhenti untuk membaca dan menulis sampai roh
ini sudah tak ada lagi diraganya.
Jadi, mereka yang tidak jauh
berbeda dengan diriku ini atau kalian pastinya. Teramat terpukul juga kecewa
dengan negeri ini. Yang mengumbar-umbar kata ‘Mencerdaskan Kehidupan Bangsa’
cih…
Mengumbar kata-kata tersebut tapi
mendorong pejuang literasi ke lembah terdalam.
Sekarang katakan padaku,
bagaimana caranya mencerdaskan kehidupan bangsa jika bukan dari tulisan, dari
buku-buku panduan, dari contoh yang elok sang penguasa?
Patutkah kita memberontak,
mencari titik terang dari setiap masalah.
Jawabanya tentu iya
Tapi, akankah pemberontakan,
tuntutan bahkan keluhan kita didengar?
Silahkan di jawab sendiri…
Aku Sudah tidak menemukan jawaban
yang tepat untuk pertanyaan seperti itu, Sudah habis pikiranku, terperosok
karena kekurangan ilmu. Bersedih karena lebih banyak anak-anak di belahan
Indonesia sana yang tidak dapat membaca, menikmati buku seperti diriku. Bahagia
saat mengetahui sesuatu yang tidak pernah kita ketahui. Dan mereka akan semakin
terkikis pengetahuannya karena tidak ada stok lagi yang harus dibaca.
Kita mati, diam tak bergerak saat
sang penguasa memaksa berhenti para penulis berkaya. Memidahkan karyanya hanya
untuk yang kaya. Membuat harga setiap Tulisan menjadi lebih mahal dan mahal. Membuat
sang fakir makin tak memiliki ilmu dan pengetahuan.
Akankah seperti itu negeri ini?
Saat seharusnya kita dapat
berbagi ilmu dan kebahagian tanpa memikirkan kendala termasuk uang. Tapi
terhalang dana dan dorongan untuk saling mendukung dan berjuang.
Tak salah jika ‘Most Littered Nation In the World” yang
dilakukan oleh Central Connecticut State University menetapkan Indonesia sebagai peringkat ke 60
dari 61 negara yang memiliki indeks minat baca. Karena nyatanya, penduduk di
negeri ini memang kekurangan minat baca.
Sudah kekurangan minat baca,
berkurang juga yang menulis.
Apakah hal ini patut dibanggakan?
Aku ingin tertawa rasanya, sungguh
memprihantinkan.
Sudah ya, bagi kalian yang belum
baca keresahan ‘Tere Liye’ bisa dibaca di bawah ini. Aku kutip dari halaman
Facebook yang punya.
![]() |
By FB 'Tere Liye' |
“
*Selalu
Ada Jalan Keluarnya
Kalian harus tahu, penulis buku
adalah orang paling dermawan kepada negara. Kalian harus sopan sekali kepada
penulis buku, karena dia membayar pajak lebih banyak dibanding kalian
semua. :) Eh, saya serius loh, tidak sedang bergurau.
Di sebuah komplek misalnya, ada 10 rumah. Rumah A adalah dokter,
Rumah B adalah akuntan, Rumah C adalah arsitek, Rumah D adalah pengusaha, Rumah
E adalah pengacara, Rumah F adalah karyawan swasta, Rumah G adalah PNS, Rumah H
adalah artis terkenal, Rumah I adalah motivator, dan Rumah J adalah Penulis
Buku. Maka penulis buku adalah orang yang membayar pajak paling banyak.
Kita anggap saja 10 rumah ini semuanya sama penghasilannya: 1
Milyar/tahun. Dan kita anggap saja PTKP (penghasilan tidak kena pajak) rumah
ini sama--jadi kita anggap PTKP-nya nol saja, untuk memudahkan ilustrasi.
Maka dokter (A), akuntan (B), arsitek (C), artis terkenal (H),
motivator (I), pajaknya dihitung sbb: 1 Milyar x 50% (rasio NPPN, kurang lebih
demikian rasionya, biar sederhana), dapatlah 500 juta penghasilan netto. Lantas
dikalikan lapisan (layer) pajak penghasilan progresif, 50 juta pertama tarifnya
5%, 50-250 juta berikutnya tarifnya 15%, lantas 250-500 juta berikutnya
tarifnya 25%. Total pajak rumah2 ini adalah hanya: 95 juta.
Sementara Rumah D, karena dia adalah pengusaha UMKM, maka tarif
pajaknya hanya 1% dari omzet bruto. Rp 1 Milyar x 1% = Rp 10.000.000. Selesai.
Mudah menghitungnya. Tentu, mengingat sifatnya bisnis, belum tentu semua 1 M
tadi adalah penghasilan bersih, karena dia harus membeli bahan2, dll. Tapi
tetap saja, pajak mereka murah sekali, hanya 1%.
Lantas penulis buku, berapa pajaknya? Karena penghasilan penulis
buku disebut royalti, maka apa daya, menurut staf pajak, penghasilan itu semua
dianggap super netto. Tidak boleh dikurangkan dengan rasio NPPN, pun tidak ada
tarif khususnya. Jadilah pajak penulis buku: 1 milyar dikalikan layer tadi
langsung. 50 juta pertama tarifnya 5%, 50-250 juta berikutnya tarifnya 15%,
lantas 250-500 juta berikutnya tarifnya 25%. Dan 500-1 milyar berikutnya 30%.
Maka total pajaknya adalah Rp 245 juta.
Lihat perhitungannya? Penulis buku membayar pajak 24x dibanding
pengusaha UMKM, dan 2x lebih dibanding profesi pekerjaan bebas. Dan jangan
lupakan lagi, penulis itu pajaknya dipotong oleh penerbit, itu artinya, dia
tidak bisa menutup2i pajaknya. Artis, pengusaha, lawyer, wah, itu sih mudah
sekali untuk menyembunyikan berapa penghasilan sebenarnya. Penulis tidak bisa,
sekali dipotong oleh penerbit, maka bukti pajaknya akan masuk dalam sistem.
Masih ada yang menyamai pajak penulis buku, yaitu karyawan
swasta dan PNS. Dari angka 1 Milyar tadi, mereka dikurangi dulu biaya jabatan
5%, lantas dikalikan layer2nya, pajak karyawan swasta/PNS kurang lebih 5% lebih
rendah dibanding penulis. Tapi catat baik2, penulis adalah profesi pekerjaan
bebas, dia bukan karyawan tetap. Beda sekali sifatnya. Penulis bisa sukses,
bisa gagal, bukunya bisa laku bisa tidak, penghasilannya bisa ada, lebih banyak
tidaknya, tapi karyawan swasta dan PNS, gajinya pasti, tetap sifatnya, dan
diberikan oleh perusahaan tempat dia bekerja.
Nah, dengan ilustrasi tersebut, dari 10 rumah di komplek itu:
penulis buku adalah yang paling dermawan kepada pemerintah (meski rumahnya
paling kecil, mobilnya paling sederhana). Mereka ternyata membayar pajak dengan
jumlah massif sekali.
Apakah pemerintah tahu permasalahan
ini? Tahu. Saya sudah setahun terakhir menyurati banyak lembaga resmi
pemerintah, termasuk Dirjen Pajak, Bekraf, meminta pertemuan, diskusi.
Mengingat ini adalah nasib seluruh penulis di Indonesia. Literasi adalah hal
penting dalam peradaban. Apa hasilnya? Kosong saja. Bahkan surat2 itu tiada
yang membalas, dibiarkan begitu saja nampaknya. Atas progress yg sangat lambat
tersebut, dan tiadanya kepedulian orang2 di atas sana, maka saya Tere Liye,
memutuskan menghentikan menerbitkan buku di penerbit2, Gramedia Pustaka Utama
dan Penerbit Republika, per 31 Juli 2017 lalu. 28 buku2 saya tidak akan dicetak
ulang lagi, dan dibiarkan habis secara alamiah di buku hingga Desember 2017.
Minggu2 ini, kalau kalian ke toko, toko2 buku Gramedia sedang massif
menjualnya, membuat display khusus, dll, agar semakin cepat habis. Per Januari
2018, kalian tidak akan lagi menemukan buku2 itu di toko buku. Jika masih ada
toko buku yg menjualnya, itu berarti bajakan, my friend. :) --> lagi2, sudah pajaknya besar, buku bajakannya
juga banyak sekali.
Menghentikan menerbitkan buku, bukan berarti saya berhenti
menulis. Tenang saja, penulis itu tugasnya menulis, jadi bahkan ketika tdk lagi
diterbitkan, dia tetap bisa menulis. Naskah2 baru akan diposting lewat page
facebook ini, atau cara2 lain agar pembaca tetap bisa menikmati buku tersebut
tanpa harus berurusan dengan pajak yang berkali-kali lipat tingginya. Saya akan
memikirkan model bisnis berbeda, atau pendekatan berbeda, sepanjang itu belum
ditemukan, dibagikan gratis di page ini bisa jadi solusi yg baik.
Saya selalu percaya, selalu ada jalan
keluarnya. Mungkin tidak ada solusinya di pajak sana--karena boleh jadi mereka
tidak paham buku adalah kunci peradaban, mereka tetap akan mengotot penulis
harus bayar pajak lebih tinggi dibanding artis, dkk; tapi selalu ada jalan
keluar bagi saya untuk terus menulis, dan pembaca terus bisa menikmatinya.
Kecuali jika besok lusa, bahkan menulis di page facebook inipun juga kena
pajak :)
Demikianlah. Salam literasi.
*Tere Liye
**ilustrasi di atas adalah penyederhanaan, karena PTKP,
tanggungan, biaya jabatan maksimal, donasi wajib agama, dll bervariasi setiap
orang, tapi kalaupun dimasukkan semuanya secara akurat, substansinya akan sama
dengan ilustrasi.
”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Maaf, Bagi yang meninggalkan jejak dengan link akan saya hapus. Terima Kasih